Masalah-Masalah
dalam Proses Belajar Mengajar
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dewasa ini banyak masalah yang timbul lebih cepat.
Sebelum kita dapat mengidentifikasi masalah itu, yang pasti tampak cara untuk
memperoleh kejelasan dan hal ini tidak dapat dipisahkan dengan masalah-masalah
itu. Semakin lama masalah itu menjadi sangat komplek. Juga dalam
masalah-masalah itu selalu terjadi perubahan terutama masalah-masalah yang
berkaitan dengan pendidikan.
Di era reformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, perbaikan
kegiatan belajar dan mengajar harus diupayakan secara maksimal agar mutu
pendidikan meningkat, hal ini dilakukan karena majunya pendidikan membawa
implikasi meluas terhadap pemikiran manusia dalam berbagai bidang sehingga
setiap generasi muda harus belajar banyak untuk menjadi manusia terdidik sesuai
dengan tuntunan zaman.
Berhasilnya suatu tujuan pendidikan tergantung bagaimana
proses belajar mengajar yang dialami oleh siswa seorang guru dituntut untuk
teliti dalam memilih dan menerapkan metode mengajar yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Masalah yang timbul dalam proses belajar mengajar
disebabkan kurang hubungan komunikasi antara guru dan siswa serta siswa dengan
siswa yang lainnya sehingga proses interaksi menjadi vakum.
Untuk lebih meningkatkan keberhasilan belajar siswa
diantaranya dapat dilakukan melalui upaya memperbaiki proses pengajaran
sehingga dalam perbaikan proses pengajaran ini peranan guru sangat penting.
Selaku pengelola kegiatan siswa, guru juga diharapkan membimbing dan membantu
siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masalah-Masalah dalam Proses Belajar
Mengajar
1.
Definisi Masalah Belajar
Banyak ahli mengemukakan pengertian masalah. Ada yang
melihat masalah sebagai ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan. Ada
yang melihat sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang dan adapula yang mengartikannya
sebagai suatu hal yang tidak mengenakan. Prayitno (1965) mengemukakan bahwa
masalah adalah sesuatu yang tidak disukai adanya, menimbulkan kesulitan bagi
diri sendiri dan atau orang lain. Ingin atau perlu dihilangkan. Pengertian
belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan. Sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya. Anita E., Woo Folk (1995) mengemukakan belajar adalah
proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai hasil dari pengalaman.
Pengalaman ini terjadi melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Sedangkan menurut Gagne (1984: 77) bahwa “Belajar adalah suatu proses dimana suatu
organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Dari definisi
masalah dan belajar, maka masalah belajar dapat diartikan atau didefinisikan
sebagai berikut:
“Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami
oleh murid dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan. Kondisi
tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu berupa
kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang tidak
menguntungkan bagi dirinya.[1][1]
a. Masalah-Masalah internal belajar
Dalam interaksi belajar mengajar
siswa merupakan kunci utama keberhasilan belajar selama proses belajar yang
dilakukan. Proses belajar merupakan aktivitas psikis berkenaan dengan bahan
belajar. Aktivitas belajar dialami oleh siswa sebagai suatu proses yaitu proses
belajar sesuatu. Aktivitas belajar tersebut juga dapat diketahui oleh guru dari
perlakukan siswa terhadap bahan belajar.
Proses belajar merupakan hal yang
kompleks. Siswalah yang menentukan terjadi atau tidak belajar. Untuk bertindak
belajar siswa menghadapi masalah. Masalah intern belajar juga siswa tidak dapat
mengatasi masalahnya, maka ia tidak belajar dengan baik. Faktor intern yang
dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh para proses belajar siswa.[2][2]
1) Faktor Jasmaniah
a. Faktor kesehatan
Sehat berarti dalam keadaan baik
segenap badan beserta bagian-bagiannya/ bebas dari penyakit. Kesehatan adalah
keadaan atau hal sehat. Kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya.
Agar seseorang dapat belajar dengan
baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin.
b. Cacat Tubuh
Cacat tubuh adalah sesuatu yang
menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh atau badan. Keadaan
cacat tubuh juga mempengaruhi belajar.
2) Faktor Psikologis
a. Inteligensi
Intelegensi besar pengaruhnya
terhadap kemampuan belajar anak. Dalam situasi yang sama, siswa yang
berintelegensi tinggi akan lebih berhasil daripada mereka yang berintelegensi
rendah. Walaupun begitu siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang tinggi belum
pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena belajar adalah
proses yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya, siswa yang
mempunyai tingkat inteligensi normal dapat berhasil dengan baik dalam belajar,
jika ia belajar dengan baik. Jika siswa memiliki inteligensi yang rendah, ia
perlu mendapat pendidikan di lembaga pendidikan khusus.
b. Perhatian
Untuk dapat menjamin hasil belajar
yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang
dipelajarinya, sebab jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian bagi siswa,
maka timbullah kebosanan sehingga ia tidak lagi suka untuk belajar. Pemusatan
perhatian tentu supaya tujuan pada isi bahan belajar maupun proses
memperolehnya.
c. Minat
Minat adalah kecenderungan yang
tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang
diminati, seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa
senang.
Minat besar pengaruhnya terhadap
belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat
siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya
tarik bagiannya. Ia segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan
dari pelajaran itu. Bahan pelajaran yang menarik minat siswa menambah kegiatan
belajar.
d. Bakat
Bakat adalah kemampuan untuk
belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata
sesudah belajar atau berlatih. Orang yang berbakat mengetik. Misalnya akan
lebih cepat dapat mengetik dengan lancar dibandingkan dengan orang yang kurang
atau tidak berbakat dibidang itu.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang dipelajari siswa
sesuai dengan bakat, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang belajar
dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya itu.
e. Motif
Motif erat sekali hubungannya dengan
tujuan yang akan dicapai. Di dalam menentukan tujuan itu dapat disadari atau
tidak, akan tetapi untuk mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang
menjadi penyebab berbuat adalah motif itu sendiri sebagai daya penggerak/
pendorongnya.
Dalam proses belajar mengajar
haruslah diperhatikan apa yang mendorong siswa agar dapat belajar dengan
baik/perhatian, mempunyai motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian,
merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan/ menunjang belajar.
f. Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/fase
dalam pertumbuhan seseorang. Dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk
melaksanakan kecakapan baru. Anak yang sudah siap (matang) belum dapat
melaksanakan kecakapannya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih berhasil jika
anak sudah siap (matang).[3][3]
g. Rasa percaya diri siswa
Rasa percaya diri timbul dari
keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa
percaya diri dapat timbul berkat adanya pengajuan dari lingkungan. Dalam proses
belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian perwujudan
diri yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa. Semakin siswa sering mampu
menyelesaikan tugasnya dengan baik maka rasa percaya dirinya akan meningkat.
Dan apabila sebaliknya yang terjadi maka siswa akan merasa lemah percaya
dirinya.
h. Kebiasaan belajar
Kebiasaan-kebiasaan belajar siswa
akan mempengaruhi kemampuannya dalam berlatih dan menguasai materi yang telah
disampaikan oleh guru. Kebiasaan buruk tersebut dapat berupa belajar pada akhir
semester, belajar tidak teratur, menyia-nyiakan kesempatan belajar, bersekolah
hanya untuk bergensi, datang terlambat bergaya pemimpin. Kebiasaan-kebiasaan
tersebut dikarenakan oleh ketidakpengertian siswa dengan arti belajar bagi diri
sendiri.[4][4]
3) Faktor Kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun
sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
kelelahan jasmani dan kelelahan rohani.
Kelelahan jasmani terlihat dengan
lemah lunglainya tubuh dan kebiasaan, sehingga minat dan timbul kecenderungan
untuk membaringkat tubuh.
Kelelahan rohani dapat dilihat
dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk
menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian kepala
dengan pusing-pusing sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah itak
kehabisan daya untuk bekerja.[5][5]
b. Faktor-Faktor Ekstern Belajar
Proses belajar didorong oleh
motivasi intrinsik siswa. Disamping itu proses belajar juga dapat terjadi, atau
menjadi tambah kuat, bila didorong oleh lingkungan siswa. Dengan kata lain
aktivitas belajar dapat meningkat bila program pembelajaran disusun dengan
baik. Program pembelajaran sebagai rekayasa pendidikan guru di sekolah
merupakan faktor ekstern belajar. Ditinjau dari segi siswa, maka ditemukan
beberapa faktor ekstern yang berpengaruh pada aktivitas belajar. Faktor-faktor
ekstern tersebut adalah sebagai berikut:
1) Guru sebagai pembina siswa belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik.
Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi
juga menjadi pendidik pemuda generasi bangsanya. Guru yang mengajar siswa
adalah seorang pribadi yang tumbuh menjadi penyandang profesi bidang study
tertentu. Sebagai seorang diri yang mengembangkan keutuhan pribadi, ia juga
menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan hidup sebagai manusia. Dengan
penghasilan yang diterimanya setiap bulan ia dituntut berkemampuan hidup layak
sebagai seorang pribadi guru. Tuntutan hidup layak tersebut sesuai dengan
wilayah tempat tinggal dan tugasnya. Guru juga menumbuhkan diri secara
profesional. Ia bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat.
Mengatasi masalah-masalah keutuhan secara pribadi, dan pertumbuhan profesi
sebagai guru merupakan pekerjaan sepanjang hayat. Kemampuan mengatasi kedua
masalah tersebut merupakan keberhasilan guru membelajarkan seorang siswa.
2) Prasarana dan sarana pembelajaran
Prasarana pembelajaran meliputi
gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olah raga, ruang ibadah, ruang
kesenian, dan peralatan olah raga. Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran,
buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah dan berbagai media
pengajaran yang lainnya. Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan
kondisi pembelajaran yang baik. Hal itu tidak berarti bahwa lengkapnya
prasarana dan sarana menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar yang
baik. Justru disinilah timbul masalah-masalah bagaimana mengelola prasarana dan
sarana pembelajaran sehingga terselenggara proses belajar yang berhasil baik.
3) Kebijakan Penilaian
Kebijakan penilaian merupakan proses
belajar mencapai puncaknya pada hasil belajar siswa atau unjuk kerja siswa.
Sebagai suatu hasil maka dengan unjuk kerja tersebut, proses belajar berhenti
untuk sementara. Dan terjadilah penilaian pelaku aktif dalam belajar dalam
siswa. Hasil belajar juga merupakan hasil proses belajar atau proses
pembelajaran. Pelaku aktif pembelajaran adalah guru. Dengan demikian, hasil
belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi, dari sisi siswa hasil
belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan
pada saat pra belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada
jenis-jenis ranah kognotif, efektif dan psikomotor. Hasil belajar dinilai dari
ukuran-ukuran guru, tingkat sekolah dan tingkat nasional. Jika digolongkan
lulus maka dapat dikatakan proses belajar siswa dan tindak mengajar guru
berhenti sementara. Jika digolongkan tidak lulus, terjadilah proses belajar
ulang bagi siswa dan mengajar ulang bagi guru.[6][6]
4) Kurikulum
Kurikulum diartikan sebagai sejumlah
kegiatan yang diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar adalah
menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima, menguasai dan mengembangkan
bahan pelajaran itu, jelaslah bahan pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa.
Kurikulum yang kurang baik berpengaruh
tidak baik terhadap belajar.
5) Metode Mengajar
Metode mengajar adalah suatu
cara/jalan yang harus dilalui di dalam mengajar. Metode mengajar guru yang
kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula. Akibatnya
siswa malas atau kurang semangat dalam proses belajar.[7][7]
c. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Masalah Belajar
Pada garis besar nya sebab-sebab
timbulnya masalah belajar pada murid dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori,
yaitu:
1) Faktor-faktor internal, antara lain:
a) Fisiologis
b) Psikologis
2) Faktor eksternal
1) Sekolah
2.
Masalah-Masalah Mengajar
Mengajar sebagai proses pemberian atau penyampaian
pengetahuan saja tidak cukup, tetapi harus diiringi dengan mendidik. Artinya
guru secara tidak langsung harus dapat membimbing siswa untuk melakukan dan
menyadari etika, budaya serta moral yang berlaku di tempat siswa tinggal. Guru
bukan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa, melainkan
guru sebagai fasilitator, teman dan motivator. Oleh karena itu, pengajaran
minimal harus dipandang sebagai suatu proses sistematis dalam merencanakan,
mendesain, mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan
pembelajaran secara efektif dalam jangka waktu yang layak.[9][9]
Seorang desainer yang terampil, pada kenyataannya memiliki
perencanaan yang baik. Suatu strategi maupun seperangkat prinsip-prinsip dan
teknik-teknik yang digunakan bila diperlukan. Konsekuensinya desainer tidak
akan memperbaiki proses desain sistem begitu saja, seolah-olah hanya terdapat
satu pendekatan satu saja untuk hal tersebut. Walaupun demikian kemampuan
mendesain itu hanya dimiliki setelah seorang mempunyai pengalaman di dalam
mendesain bermacam-macam sistem belajar.
Berdasarkan pengalaman guru di lapangan. Masalah-masalah
yang timbul di dalam pelaksanaan pengajaran dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1) Masalah pengarahan
Di waktu merencanakan, melaksanakan
dan mengevaluasi proses belajar-mengajar, kebanyakan guru kurang memiliki keterampilan
dalam:
a. Berorientasi kepada tujuan
pelajaran.
b. Mengkomunikasikan tujuan pelajaran
kepada siswa.
c. Memahami cara merumuskan tujuan umum
dan khusus.
d. Menyesuaikan tujuan pelajaran dengan
kemampuan dan kebutuhan siswa.
e. Merumuskan tujuan instruksional
jelas.
Keadaan ini mengakibatkan secara
jelas terhadap tujuan mempelajari materi tersebut, mereka tidak mendapat
kepuasan dalam menerima pelajaran, siswa menyadari bahwa tujuan pelajaran yang
diberikan guru tidak relevan dengan kebutuhannya tidak bermakna bagi kehidupannya
di kemudian hari.
2) Masalah evaluasi dan penilaian
Guru dalam tugasnya untuk
merencanakan, melaksanakan evaluasi dan menemukan masalah-masalah sebagai
berikut:
a) Guru dalam menyusun kriteria
keberhasilan tidak jelas
b) Prosedur evaluasi tidak jelas
c) Guru tidak melaksanakan
prinsip-prinsip evaluasi yang efisien dan efektif.
d) Kebanyakan guru memiliki cara penilaian yang tidak seragam.
e) Guru kurang menguasai teknik-teknik
evaluasi.
f) Guru tidak memanfaatkan analisa
hasil evaluasi sebagai bahan umpan balik.
Dengan evaluasi yang semacam itu
siswa yang menerima evaluasi tidak puas. Mereka tidak mengerti arti angka-angka
yang diterimanya. Guru juga tidak mengetahui apakah muridnya sudah mempelajari
materi pelajaran yang diberikan atau belum. Guru tidak mengerti bahwa pada
siswa sudah ada perubahan tingkah laku, sebagai pengaruh pengajaran yang
diberikan atau tidak.
3) Masalah isi dan urut-urutan
pelajaran
Dalam membuat perencanaan
pengajaran, yang kemudian akan dilaksanakan dan dievaluasi, guru dalam menyusun
isi dan urutan bahan pelajaran menemukan masalah sebagai berikut:
a. Guru kurang menguasai materi
b. Materi yang disajikan tidak relevan
dengan tujuan
c. Materi yang diberikan sangat luas
d. Guru kurang mampu dalam menyesuaikan
penyajian bahan dengan waktu yang tersedia
e. Guru kurang terampil dalam
mengorganisasikan materi pelajaran.
f. Guru kurang mampu mengembangkan
materi pelajaran yang diberikannya.
g. Guru kurang mempertimbangkan urutan
tingkat kesukaran dari materi pelajaran yang diberikan.
4) Masalah metode dan sistem penyajian
bahan pelajaran
Agar guru dapat menyajikan bahan
pelajaran dengan menarik dan berhasil, maka perlu menguasai beberapa teknik
sistem penyajian. Juga dapat memilih siswa penyajian yang tepat untuk setiap
materi tertentu yang akan disajikan, ataupun dapat membuat variasi dalam
menyajikan bahan tersebut. Namun dengan demikian dalam pengamatan pelaksanaan
pengajaran itu para guru menemukan masalah-masalah sebagai berikut:
a. Guru kurang menguasai beberapa siswa
penyajian yang menarik dan efektif.
b. Pemilihan metode kurang relevan
dengan tujuan pelajaran dan materi pelajaran.
c. Kurang terampil dalam menggunakan
metode
d. Sangat terikat pada satu metode saja
e. Guru tidak memberikan umpan balik
pada tugas yang dikerjakan siswa.
5) Masalah hambatan-hambatan
Dalam pelaksanaan pengajaran guru
kadang-kadang menemui banyak hambatan, diantaranya ialah:
a. Banyak guru kurang menggunakan
perpustakaan sebagai sumber belajar.
b. Guru kurang mempertimbangkan latar
belakang siswa yang tidak sama.
c. Guru kurang mengerti tentang
kemampuan dasar siswa yang kurang.
d. Kurangnya buku-buku bacaan ilmiah
e. Keadaan sarana yang kurang
f. Guru kurang mampu dalam menguasai
bahasa Inggris.
Dengan menemukan hambatan-hambatan
itu dalam pengajaran menjadi kurang lancar. Guru mengalami kesulitan dalam
meningkatkan proses belajar mengajar agar hasilnya efektif dan efisien. Begitu
juga siswa sendiri kurang bersemangat untuk mendalami setiap bagian pengetahuan
yang diperolehnya di bangku sekolah.[10][10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
v Masalah
belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh siswa dan menghambat
kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan.
v Masalah-masalah
internal belajar
Terdapat
tiga faktor, yaitu: 1. Faktor jasmani,
2. Faktor psikologis dan 3. Faktor
kelelahan.
v Faktor-faktor
eksternal belajar
1. Guru sebagai pembina siswa belajar
2. Prasarana dan sarana pembelajaran
3. Kebijakan penilaian
4. Kurikulum
5. Metode mengajar
v Masalah-masalah
mengajar
Masalah
yang dihadapi guru adalah sebagai berikut:
1. Masalah pengarahan
2. Masalah evaluasi dan penilaian
3. Masalah isi dan urut-urutan
pelajaran
4. Masalah metode dan sistem penyajian
bahan pelajaran
5. Masalah hambatan-hambatan.
DAFTAR PUSTAKA
http://samadaranta.wordpress.com/2010/12/28/masalah-masalah_dalam_belajar.
Diposting oleh
rulam | Tanggal: August 8th, 2011 | Kategori:
Artikel
Oleh Rois
Haqiqi (Mahasiswa FKIP UNISMA Malang).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia pendidikan mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai segala
usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan
belajar. Juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar
serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif
(penyembuhan) maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan
informasi yang seobyektif mungkin.
Dengan demikian, semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan
kesulitan belajar termasuk kegiatan diagnosa. Perlunya diadakan diagnosis
belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat
kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal, kedua; adanya
perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar belakang lingkungan
masing-masing siswa. Ketiga, sistem pengajaran di sekolah seharusnya memberi
kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya. Dan, keempat,
untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh siswa, hendaknya guru beserta
BP lebih intensif dalam menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang
terbuka dan mengasah ketrampilan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar
siswa.
Berkait dengan kegiatan diagnosis, secara garis besar dapat diklasifikasikan
ragam diagnosis ada dua macam, yaitu diagnosis untuk mengerti masalah dan
diagnosis yang mengklasifikasi masalah. Diagnosa untuk mengerti masalah
merupakan usaha untuk dapat lebih banyak mengerti masalah secara menyeluruh.
Sedangkan diagnosis yang mengklasifikasi masalahmerupakan pengelompokan masalah
sesuai ragam dan sifatnya. Ada masalah yang digolongkan kedalam masalah yang
bersifat vokasional, pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga dan kepribadian.
Kesulitan belajar merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa.
Kesulitan belajar dapat diartikan suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang
ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai hasil belajar.
B. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah :
a. Mengidintifikasi berbagai permasalahan kesulitan pembelajaran.
b. Mengkaji berbagai persoalan tentang permasalahan belajar.
c. Alternatif mengatasi permasalahan pembelajaran.
C. Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada
kesulitan
belajar, bimbingan belajar, model pembelajaran yang bisa diaterapkan dan
bagaimana mengatasi masalah kesulitan belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Kesulitan Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah
karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh
kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun
di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami
berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat
psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas,
diantaranya :
(a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c)
underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah
ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1.
Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan
dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang
bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya
tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya
respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih
rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan
olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami
kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2.
Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses
belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya
siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat
dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki
postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley,
namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat
menguasai permainan volley dengan baik.
3.
Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya
memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi
prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites
kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ =
130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat
rendah.
4.
Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang
lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang
sama.
5.
Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar
mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar,
sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Bila diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai
hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama
merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi
sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan
penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat
ketuntasan yang diharapkan karena ada konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa
pula ketuntasan belajar tak bisa dicapai karena proses belajar yang sudah
ditempuh tidak sesuai dengan karakteristik murid yang bersangkutan.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara
konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh.
Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat
rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak
dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan
baik.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di
atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya,
baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif .
Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar,
antara lain :
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang
dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan.
Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang
diperolehnya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu
tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh,
menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang
terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di
luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar,
dan sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah
tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu.
Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau
menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang
diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan
siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan
gagal dalam belajar apabila :
1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran
tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal
dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat
berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya.
Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan
sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat
digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus
menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan
gejala kesulitan belajar dan menandai siswa
yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau
patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa :
(1) tujuan pendidikan;
(2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar
dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu
komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan
pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan
guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target
tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan,
apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan
mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan
pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan
harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang
dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut.
Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan
berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh
tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas
(mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang
dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal
ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di
bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam
belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi
belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian
hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila
memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara
keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang
mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih
jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan
norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat
kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi
kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka
yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower
group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang
dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa
mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di
bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan
membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok.
Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula
mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat
potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi
cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula.
Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh
prestasi belajar yang rendah pula.
Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya
kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang
dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang
dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang
siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat
kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon &
Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang
seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa
memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan
belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh
kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan
dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan
pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila
menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari
seharusnya, seperti :
acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos,
menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
b. Diagnostik mengatasi kesulitan belajar
Belajar pada dasarnya merupakan proses usaha aktif seseorang untuk
memperoleh sesuatu, sehingga terbentuk perilaku baru menuju arah yang lebih
baik. Kenyataannya, para pelajar seringkali tidak mampu mencapai tujuan
belajarnya atau tidak memperoleh perubahan tingkah laku sebagai mana yang
diharapkan. Hal itu menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar yang
merupakan hambatan dalam mencapai hasil belajar.
Sementara itu, setiap siswa dalam mencapai sukses belajar, mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan,
akan tetapi banyak pula siswa mengalami kesulitan, sehingga menimbulkan masalah
bagi perkembangan pribadinya.
Menghadapi masalah itu, ada kecendrungan tidak semua siswa mampu
memecahkannya sendiri. Seseorang mungkin tidak mengetahui cara yang baik untuk
memecahkan masalah sendiri. Ia tidak tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi.
Ada pula seseorang yang tampak seolah tidak mempunyai masalah, padahal masalah
yang dihadapinya cukup berat.
Atas kenyataan itu, semestinya sekolah harus berperan turut membantu
memecahkan masalah yang dihadapi siswa. Seperti diketahui, sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal sekurang-kurangnya memiliki 3 fungsi utama. Pertama
fungsi pengajaran, yakni membantu siswa dalam memperoleh kecakapan bidang
pengetahuan dan keterampilan. Kedua, fungsi administrasi, dan ketiga fungsi
pelayanan siswa, yaitu memberikan bantuan khusus kepada siswa untuk memperoleh
pemahaman diri, pengarahan diri dan integrasi sosial yang lebih baik, sehingga
dapat menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.
Setiap fungsi pendidikan itu, pada dasarnya bertanggung jawab terhadap
proses pendidikan pada umumnya. Termasuk seorang guru yang berdiri di depan
kelas, bertanggung jawab pula atau melekat padanya fungsi administratif dan
fungsi pelayanan siswa. Hanya memang dalam pendidikan, pada dasarnya sulit
memisahkan secara tegas fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya, meskipun
pada setiap fungsi tersebut mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam hal
ini, guru atau pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah perkembangan
individu seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan kehidupan sosial serta
tanggung jawab moral. Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru
dalam melaksanakan tugas dan peranannya ialah kegiatan evaluasi. Dilihat dari
jenisnya
evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif, penempatan, dan
diagnostik.
1. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar
faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi
input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua
bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan
belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam
diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan,
bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b)
faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk
didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
2. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih
mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal
ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil
langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya
terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak
yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.
3. Tes diagnostik
Pada konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar
yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui
letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau
pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan guna
menolong siswa tersebut.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi
bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan
karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan
belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni
masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek
pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan
merumuskan rencana tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat
penting dalam rangka membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat
diatasi dengan segera apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa
tersebut. Guru atau pembimbing harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan
keadaan siswa bila timbul gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan
data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih
mudah dan terarah.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang dilaksanakannya ujian akhir
nasional (UAN) dengan standar nilai 4,01, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat
berat. Pihak sekolah dalam menghadapi
Salah satu antisipasinya pihak sekolah atau guru, harus memberi perhatian
khusus terhadap perbedaan kemampuan individual siswa tersebut. Perhatian yang
dimaksud yakni dengan menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu
dilaksanakan dengan efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan
kemampan siswa akan terselesaikan dengan baik
c. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami
kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat
ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan
layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003)
memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang
diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
1.
Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua
siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa
yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
2.
Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh
keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal
ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada
hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra
kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3.
Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang
menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya
dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari
suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya
untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa
diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi
siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang
diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan
atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar,
permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material;
(b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk
mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu
instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap
Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan
yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri
pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan
pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h)
hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan
sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru
atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru
atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut
aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya
tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli
yang lebih kompeten.
4. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya
dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan
bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan
kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
• Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah
yang dibahas;
• Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui
layanan, dan
• Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan
layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang
dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan
beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah
diberikan, yaitu apabila:
1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan
masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan
pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan
penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan
keputusan yang telah diambilnya
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana mekanisme
penanganan siswa bermasalah, silahkan klik tautan di bawah ini. Materi
disajikan dalam bentuk tayangan slide
d. Model Pembelajaran
Dalam mengimplementasikan
Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa
(2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan
tuntutan Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (
1) Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing);
(3) Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4)
Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular
Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya
strategi
pembelajaran inkuiri (inquiry).
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing
model
pembelajaran tersebut.
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat
CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara
materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu
menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan
belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber
belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang
berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik belajar.
Dengan mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan lima
elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu :
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh
peserta didik
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya
secara khusus (dari umum ke khusus)
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun
konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan
dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang
dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan
yang dipelajari.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada
upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia
(interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan
kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian Melalui bermain
peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia
dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama
para peserta didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap,
nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah.
Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan
tahapan pembelajaran bermain peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan
memotivasi peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4)
menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi
dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan (9)
diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan
keputusan.
3. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning) merupakan
model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran
Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu
: (1) adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik; (2) adanya
kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3)
dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan
membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan
belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil
belajar.
4. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta
didik mampu belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap
seluruh materi yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil
belajar secara maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis.
Kesistematisan akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan,
terutama dalam mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi
dan memberikan bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk memudahkan
pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi satuan-satuan belajar
tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua tujuan setiap satuan
belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses belajar melangkah pada
tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah para peserta didik
menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan dasar untuk memperoleh
balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah memperoleh informasi tentang
pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh peserta didik. Hasil evaluasi
digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik perlu
memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta didik dapat
mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar secara maksimal (belajar tuntas).
Strategi belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas
dalam hal berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan
terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan
(diagnostic progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada
pelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran
sebelumnya sesuai dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan
dan konseling terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan
penuh, melalui pengajaran remedial (pengajaran korektif).
Strategi belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi
tiga bagian, yaitu: (1) mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan
prosedur operasional dan hasil belajar; dan (3c) implementasi dalam
pembelajaran klasikal dengan memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan dengan
kemampuan individual, yang meliputi : (1) corrective technique yaitu semacam
pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang
gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan metode yang berbeda dari
sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang
membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).
Di samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas
banyak diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas
mencapai hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware
maupun software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan
proses belajar.
5. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan
tertentu yang disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk
digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para
guru. Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan yang
jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan,
dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
2. Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk
melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul
harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan
kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang
telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran
yang spesifik dan dapat diukur.
3. Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik
mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin, serta
memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak
sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan
untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
4. Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta
didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul, serta
tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus dilakukan atau
dipelajari.
5. Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar
peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam
mencapai ketuntasan belajar.
Pada umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa
komponen, diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja;
(3) kunci lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci
jawaban.
Komponen-komponen tersebut dikemas dalam format modul, sebagai berikut :
1. Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti materi yang disajikan,
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai setelah belajar, termasuk
kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.
2. Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai
peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan
terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan.
3. Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan
mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai
belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
4. Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan
pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi
peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
5. Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri
dan digunakan oleh peserta didik.
6. Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang
digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap
modul
Tugas utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan
dan mengatur proses belajar, antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran
yang kondusif; (2) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam
memahami isi modul atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap
setiap peserta didik.
6. Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda,
manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga
mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat
bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam
kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi;
(2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan
fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas
dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran
terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan
hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh;
(b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan
3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit
peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan,
mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari :
mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c)
analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan
perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan
makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai
konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat
membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi
kerja kelompok.
E. Mengatasi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan masalah yang cukup kompleks dan
sering membuat orangtua bingung mencari penyelesaiannya. Kesulitan belajar
banyak ditemukan pada anak usia sekolah. Pola belajar anak, memang dibentuk
saat di sekolah dasar. Sesuai dengan masanya ia mengalami perkembangan mental
dan pembentukan karakternya. Di masa kini anak tidak hanya belajar menghitung,
membaca, atau menghafal pengetahuan umum, tapi juga belajar tentang tanggung
jawab, skala nilai moral, skala nilai prioritas dalam kegiatannya.
Masalah disiplin juga tidak kalah pentingnya. Anak-anak sejak kecil sudah
harus ditanamkan disiplin. Jika, tidak sangat menentukan perkembangan karakter
anak tersebut. Di dalam kebudayaan Bugis-Makassar ada istilah macanga-canga
atau memandang enteng persoalan. Sering menunda-nunda jadwal belajar.
Dalam menghadapi perilaku anak seperti ini, dalalm artikel Ibu Anak
disebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan. Namun, sebelum
memperhatikan hal tersebut, orangtua hendaknya tidak mudah jatuh iba sehingga
mengambil alih tugas anak. Tentu dengan tujuan meringankan agar mereka bisa
mengerjakan pekerjaan rumah misalnya.
Sekali lagi orangtua tidak dianjurkan membantu anak dengan cara mengambil
alih, tapi bagaimana menuntun anak agar pekerjaan rumah dikerjakan sendiri
dalam situasi menyenangkan.
1. Perhatikan Mood
Untuk mengenal mood anak, seorang ibu harus mengenal karakter dan kebiasaan
belajar anak. Apakah anak belajar dengan senang hati atau dalam keadaan kesal.
Jika belajar dalam suasana hati yang senang, maka apa yang akan dipelajari
lebih cepat ditangkap. Bila saat belajar, ia merasa kesal, coba untuk mencari
tahu penyebab munculnya rasa kesal itu. Apakah karena pelajaran yang sulit atau
karena konsentrasi yang pecah. Nah di sini tugas orangtua untuk menyenangkan
hati si anak.
2. Siapkan Ruang Belajar
Kesulitan belajar anak bisa juga karena tempat yang tersedia tidak memadai.
Karena itu, coba sediakan tempat belajar untuk anak. Jika kesulitan itu muncul
karena tidak tersedianya meja, maka ajaklah anak belajar di meja makan
didampingi orangtuanya. Tentu sebelum belajar meja makan harus dibersihkan
lebih dahulu.
Selain itu, saat mengajari anak ini Anda bisa melakukannya dengan menularkan
cara belajar yang baik. Misalnya bercerita kepada anak tentang bagaimana dahulu
ibunya menyelesaikan mata pelajaran yang dianggap sulit. Biasanya anak cepat
larut dengan cerita ibunya sehingga ia mencoba mencocok-cocokkan dengan apa
yang dijalaninya sekarang.
3. Komunikasi
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru itu
mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran, tentu ada
kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Sempatkan juga waktu dan dengarkan anak-anak bercerita tentang bagaimana cara
guru mereka mengajar di sekolah. Jika, anak Anda aktif maka banyak sekali
cerita yang lahir termasuk bagaimana guru kelas memperhatikan baju, ikat
rambut, dan sepatunya. Khusus soal komunikasi ini, biarkan anak-anak bercerita
tentang gurunya. Sejak dini biasakan anak berperilaku sportif dan pandai
menyampaikan pendapatnya. Selamat mencoba.
Langkah-Langkah Tindakan Diagnosa Menurut C. Ross dan Julian Stanley,
langkah-langkah
mendiagnosis kesulitan belajar ada tiga tahap, yaitu :
1. Langkah-langkah diagnosis yang meliputi aktifitas, berupa
a. Identifikasi kasus
b. Lokalisasi jenis dan sifat kesulitan
c. Menemukan faktor penyebab baik secara internal maupun eksternal
2. Langkah prognosis yaitu suatu langkah untuk mengestimasi (mengukur),
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
3. Langkah Terapi yaitu langkah untuk menemukan berbagai alternatif
kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam rangka penyembuhan kesulitan
tersebut yang kegiatannya meliputi antara lain pengajaran remedial, transfer
atau referal.
Sasaran dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan. Dari
ketiga pola pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pokok
prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
4. Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Adapun langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang diperkirakan
mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun khusus dalam bidang studi
Meneliti nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic” kemudian
dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas atau dengan kriteria tingkat
penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
Menganalisis hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar mengajar
yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang
diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahui kebiasaan dan cara belajar siswa
di rumah melalui check list
Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas,dan guru
pembimbing.
5. Mengalokasikan letaknya kesulitan atau permasalahannya, dengan cara
mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu. Dengan membandingkan
angka nilai prestasi siswa yang bersangkutan dari bidang studi yang diikuti
atau dengan angka nilai rata-rata dari setiap bidang studi. Atau dengan
melakukan analisis terhadap catatan mengenai proses belajar. Hasil analisa
empiris terhadap catatan keterlambatan penyelesaian tugas, ketidakhadiran,
kekurang aktifan dan kecenderungan berpartisipasi dalam belajar.
6. Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami
berbagai kesulitan.
7. Memperkirakan alternatif pertolongan. Menetapkan kemungkinan cara
mengatasinya baik yang bersifat mencegah (preventif) maupun penyembuhan
(kuratif).
Demikianlah prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar, di atas dapat
dipergunakan. Namun penerapannya dalam proses konseling bisa sangat bervariasi,
bahkan ada beberapa pakar yang mempunyai pandangan yang bertolak belakang atau
kontradiktif. Bahkan, menurut Carl Rogers, terapi atau pertolongan yang baik
tidak membutuhkan ketrampilan dan pengetahuan diagnosa. Hal ini bertolak
belakang dengan pendapat Wiliamson, Ellis, Freud, dan Thorn yang menekankan
bahwa diagnosa sebagai langkah yang perlu dipakai dalam pendekatan konseling,
termasuk konseling yang menangani kesulitan dalam belajar. Bahkan ditekankan
bahwa diagnosa merupakan bagian dari kegiatan konselor dalam proses konseling.
Seyogyanya seorang pembimbing atau konselor perlu mengingat dan dapat bertindak
bijaksana dalam mempertimbangkan kapan sebaiknya diagnosa dipergunakan atau
tidak untuk menolong siswa dalam mengatasi kesulitan belajar.
Ada berbagai macam cara untuk mengidentifikasi siswa, di antaranya seorang
konselor dapat menggunakan check list. Di samping penggunaan check list ini
sangat efektif dan efesien terutama bila jumlah siswa banyak, check list ini bisa
berfungsi sebagai alat pengayaan (screening device) untuk mengidentifikasi
siswa yang perlu segera atau skala prioritas yang harus ditolong.
Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan belajar,
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Banyak sebab yang menimbulkan pola gejala yang sama. Seringkali
gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak pada seorang siswa disebabkan oleh
faktor-faktor yang berbeda dengan yang lain yang memperlihatkan gejala yang
sama.
2. Banyak pola gejala yang ditimbulkan oleh sebab yang sama. Sebab yang
nampak sama, dapat mengakibatkan gejala yang berbeda-beda bagi siswa yang
berlainan perlu diperhatikan adanya kesesuaian antara sebab dengan kondisi
tempat tinggal siswa.
3. Sebab-sebab yang saling berkaitan dengan yang lain. Kesulitan yang
menimbulkan reaksi dari orang-orang disekelilingnya atau yang menyebabkan dia
bereaksi pada dirinya sendiri dengan cara yang selanjutnya , menyebabkan
timbulnya kesulitan yang baru.
Proses pemecahan kesulitan belajar pada siswa yaitu dimulai
dengan
memperkirakan kemungkinan bantuan apakah siswa tersebut masih mungkin ditolong
untuk mengatasi kesulitannya atau tidak, berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa tertentu, dan dimana
pertolongan itu dapat diberikan. Perlu dianalisis pula siapa yang dapat
memberikan pertolongan dan bantuan, bagaimana cara menolong siswa yang efektif,
dan siapa saja yang harus dilibatkan dalam proses konseling.
Dalam proses pemberian bantuan, diperlukan bimbingan yang intensif dan
berkelanjutan agar siswa dapat mengembangkan diri secara optimal dan
menyesuaikan diri terhadap perkembangan pribadinya dan lingkungannya.
Kemampuan yang Harus Dimiliki Konselor Berkait dengan perannya sebagai seorang
konselor, tiap individu konselor harus memiliki kemampuan yang profesional
yaitu mampu melakukan langkah-langkah :
1. Mengumpulkan data tentang siswa
2. Mengamati tingkah laku siswa
3. Mengenal siswa yang memerlukan bantuan khusus
4. Mengadakan komunukasi dengan orang tua siswa untuk memperoleh keterangan
dalam pendidikan anak.
5. Bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga yang terkait untuk membantu
memecahkan masalah siswa
6. Membuat catatan pribadi siswa
7. Menyelenggarakan bimbingan kelompok ataupun individual
8. Bekerjasama dengan konselor yang lain dalam menyusun program bimbingan
sekolah
9. meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah
Mengingat sedemikian pentingnya peranan dan tanggung jawab konselor,
maka diperlukan dua persyaratan khusus bagi seorang konselor yaitu, memiliki
gelar kesarjanaan dalam bidang psikologi dan mempunyai ciri-ciri dan
kepribadian antara lain; dapat memahami orang lain secara objektif dan
simpatik, mampu mengadakan kerjasama dengan orang lain dengan baik, memeliki
kemampuan perspektif, memahami batas-batas kemampuan sendiri, mempunyai
perhatian dan minat terhadap masalah pada siswa dan ada keinginan untuk
membantu, dan harus memiliki sikap yang bijak dan konsisten dalam mengambil
keputusan.
Dengan dimilikinya kecakapan dan persyaratan khusus seperti terurai di atas,
seorang konselor diharapkan mampu membantu mengatasi dan memecahkan masalah
kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Namun perlu diingat bahwa
keberhasilan suatu konseling akan bisa maksimal apabila ada keterbukaan dan kepercayaan
antara pihak klien dan konselor.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan suatu hal yang sering
ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya untuk memberikan
terapi terhadap permasalahan kesulitan belajar maka dapat ditempuh melalui
media klinik pembelajaran.
Klinik Pembelajaran merupakan wadah bagi guru untuk
melakukan serangkaian upaya yaitu kegiatan refleksi, penemuan masalah,
pemecahan masalah melalui beragam strategi untuk meningkatkan ketrampilan dalam
mengelola pembelajaran. Strategi utama yang digunakan adalah
Penelitian
Tindakan Kelas.
Karena Klinik Pembelajaran merupakan milik bersama para guru, maka tempat
ini dapat digunakan dengan bebas untuk berdiskusi, melakukan refleksi atau merenung
tentang proses pembelajaran yang telah dijalani, bersimulasi, misalnya
bagaimana cara mengajarkan suatu konsep dengan menyenangkan, dan membuat
catatan bersama-sama dengan teman sejawat. Di Klinik Pembelajaran, para
supervisor akan membantu dalam melakukan berbagai kegiatan tersebut.
Dalam klinik pembelajaran analisis kesulitan pembelajaran dapat dilalui
dengan identifikasi kesulitan belajar, mengadakan diagnosis kesulitan belajar,
melakukan bimbingan dan konseling belajar, dan kemudian menetapkan model
pembelajaran serta mengatasi kesulitan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik
dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya.2002 Strategi Belajar Mengajar. Bandung :
Pustaka Setia
Abin Syamsuddin, 2003, Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda
Karya
Prayitno dan Erman Anti, 1995, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta
: P2LPTK Depdikbud Suyanto. 2001. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa.
Jakarta : Adicipta..
Danim Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.